BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam
adalah agama yang ajarannya mengatur segenap prilaku manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam
masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan
konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemashlahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas
konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Prilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan
al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan
kesejahteraan hidupnya.
Pada
dasarnya, manusia melakukan kegiatan konsumsi dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup, baik jasmani maupun rohani. Dalam
ekonomi konvensional kegiatan konsumsi adalah untuk mendapatkan kepusaan dari
apa yang dikonsumsi. Dalam ekonomi
islam, kegiatan konsumsi untuk mencari maslahah dari apa yang dikonsumsi dengan
cara mengonsumsi sesuai dengan kebutuhan bukan sesuai keinginan dari
pendapatannya. Sisa pendapatnya
digunakan untuk beramal shaleh diantaranya zakat, infaq dan shodaqoh.
Konsumsi
agregat secara umum adalah seluruh pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk
barang dan jasa dalam suatu perekonomian. Konsumsi dipengaruhi oleh pendapatn rumah
tangga, kekayaan rumah tangga, tingkat suku bunga dan harapan-harapan rumah
tangga di masa yang akan datang. Konsumsi agregat islam memiliki dua
karateristik, yaitu muzakki dan mustahiq. Muzakki adalah orang yang memberi zakat
sedangkan mustahiq adalah orang yang menerima zakat. Mustahiq di bagi menjadi dua golongan yaitu
fakir dan miskin. Antara muzakki dan
mustahiq memiliki pengeluaran konsumsi yang berbeda, konsumsi muzakki
ditentukan oleh pendapatannya sedangkan bagi mustahiq fakir pengeluaran
konsumsi ditentukan dari zakat yang diperoleh dari muzakki dan bagi mustahiq
miskin pengeluaran konsumsi ditentukan dari pendapatan yang diperoleh namun
belum mencukupi dan zakat yang diperoleh dari muzakki. Konsumsi agregat secara islam berpengaruh
terhadap perekonomian suatu negara diantaranya berpengaruh terhadap pendapatan
nasional suatu Negara, pengangguran, inflasi dan neraca pembayaran.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka pembahasan makalah ini akan difokuskan pada
masalah-masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
konsep konsumsi secara islam?
2.
Mengapa
iman dan syari’ah mendapat kedudukan penting dalam konsumsi?
3.
Bagaimana
hubungan antara konsumsi golongan mustahik dan muzaki ?
1.3 Tujuan Makalah
Adapun
tujuan dari pembahasan pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui
dan memahami konsep konsumsi secara islam
2. Mengetahui
dan memahami kedudukan iman dan syari’ah dalam konsumsi
3. Mengetahui
dan memahami konsumsi golongan mustahik dan muzaki
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep konsumsi
secara islam
2.1.1
Definisi
konsumsi
Dalam
pengertian sehari-hari, manusia merupakan bagian dari anggota masyarakat
memiliki upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Drahan Bannoch dalam bukunya “Economics”
memberi pengertian tentang konsumsi yaitu merupakan pengetahuan total untuk memperoleh
barang dan jasa dalam suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu (dalam
setahun) pengeluaran.
Dalam
hal mengkonsumsi sesuatu konsumen (sebutan untuk orang yang mengkonsumsi) perlu
diperhatikan hal-hal berikut:
1. Konsumen (individual) adalah rasional
dalam memutuskan pilihan konsumsinya.
2. Konsumen mempunyai banyak
pilihan/alternative konsumsi
3. Konsumen mempunyai pilihan
(preferensi) sendiri atau free choice.
2.1.2
Prinsip
dasar konsumsi
Dalam
ajaran Islam, anugrah-anugrah Allah itu semua milik manusia dan suasana yang
menyebabkan sebagian diantara anugrah-anugrah itu berada ditangan orang-orang
tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugrah-anugrah itu
untuk mereka sendiri, sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya sehingga
banyak diantara anugrah-anugrah yang diberikan Allah kepada umat manusia itu
masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak memperolehnya.
Dalam
Al-Qur’an Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen yang dikemukakan oleh
orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau
miliknya itu. Allah berfirman :
“Bila dikatakan kepada mereka,
belanjakanlah sebagian rizki Alloh yang diberikanNya kepada mu, orang-orang
kafir itu berkata ‘apakah kami harus member makan orang-orang yang jika Alloh menghendaki
akan diberiNya makan? sebenarnya kamu benar-benar tersesat” (Q.S. Yasiin : 47)
a.
Kebutuhan dan Keinginan
Teori
konsumsi lahir karena adanya teori permintaan akan barang dan jasa. Sedangkan
permintaan akan barang dan jasa timbul karena adanya keinginan (want)
dan kebutuhan (need) oleh konsumen riil maupun konsumen potensial. Dalam
ekonomi konvensial motor penggerak kegiatan konsumsi adalah adanya keinginan.
Dalam
Islam keinginan identik dengan sesuatu yang bersumber dari nafsu. Sedangkan
nafsu manusia mempunyai dua kecenderungan yang saling bertentangan,
kecenderungan yang baik dan kecenderungan yang tidak baik. Oleh karena itu teori permintaan dalam ekonomi
Islam didasar atas adanya kebutuhan .
Harus
dibedakan secara tegas antara keinginan dan kebutuhan ini. Kebutuhan lahir dari suatu pemikiran atau
identifikasi secara objektif atas berbagai sarana yang diperlukan untuk
mendapatkan suatu manfaat bagi kehidupan. Kebutuhan dituntun oleh rasionalitas normative
dan positif, yaitu rasionalitas ajaran Islam, sehingga bersifat terbatas dan
terukur dalam kuantitas dan kualitasnya.
Jadi, seorang muslim berkonsumsi dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhannya sehingga memperoleh kemanfaatan yang setinggi-tingginya bagi
kehidupannya.
Kebutuhan
dasar manusia terbagi menjadi lima kebutuhan dasar/pokok. Kelima kebutuhan ini semuanya penting untuk
mendukung suatu perilaku kehidupan yang
Islami, karenya harus diupayakan untuk dipenuhi, yaitu :
a.
Kebenaran
b.
Kehidupan
c.
Harta material
d.
Ilmu pengetahuan
e.
Kelangsungan keturunan
b.
Kewajaran
Dalam
hidup ini Islam mengambil jalan tengah antara materialism dan kesuhudan,
terlalu bersifat menjahui benda-benda yang dihalalkan juga dilarang oleh Allah,
seperti ditetapkan dalam surat Al-Maidah ayat 87
“Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu dan janganlah engkau melampaui batas”.
Dalam
ayat ini sangatlah jelas disebutkan, manusia dilarang untuk menjahui hal-hal
yang dihalalkan. Tetapi juga dilarang melakukan tindakan yang berlebihan dalam
berkonsumsi, karena kebaikan itu berada diantara kedua hal itu.
c.
Pemborosan Harta Benda
Mengenai
pandangan pentingnya kekayaan, Islam sangat memberikan penekanan tentang cara
membelanjakan harta, dalam Islam sangat dianjurkan untuk menjaga harta dengan
hati-hati termasuk menjaga nafsu supaya tidak terlalu berlebihan dalam
menggunakan seperti dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 5:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanMu)
yang dijadikan Alloh sebagai pokok kehidupan”.
d.
Makanan Terlarang
Dalam
perilaku konsumsi Islam sangat dilarang untuk memakan barang-barang yang telah
diharamkan oleh Allah. Pada hakekatnya makanan-makanan yang dilarang oleh Allah
akan menimbulkan efek yang tidak baik untuk tubbuh diantaranya adalah:
· Bangkai
· Darah
· Daging babi
· Khamar, dsb.
2.1.3
Prilaku
konsumsi masyarakat muslim
Perilaku
konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di
antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources)
yang dimilikinya.
Teori perilaku konsumen muslim yang dibangun
berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori
konvensional. Perbedaan ini
menyangkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi,
hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
Ada tiga nilai dasar yang menjadi
fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim :
a. Keyakinan akan adanya hari kiamat
dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk
mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada
konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah
merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat),
sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
b. Konsep sukses dalam kehidupan
seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah
kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi
moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada
Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan
prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari
kejahatan.
c. Kedudukan harta merupakan anugrah
Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus
dijauhi secara berlebihan). Harta
merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan
dengan benar(Q.S.Al-Baqarah: 265).
Berbeda dengan konsumen
konvensional, seorang muslim dalam penggunaan penghasilanya memiliki 2 sisi,
yaitu pertama untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya dan sebagiannya
lagi untuk dibelanjakan di jalan Allah.
2.2 Kedudukan iman
dan syari’ah dalam konsumsi
Dalam pandangan Islam, dalam diri
manusia terdapat beberapa unsur yang diistimewakan Allah Swt, utamanya terkait
dengan dengan keimanan. Sayangnya, hal itu
tidak mendapat perhatian yang semestinya. Sering dilupakan bahwa perilaku keislaman
harus didasari oleh keimanan yang teguh. Islam adalah perbuatan lahir yang harus
berdasar keyakinan dan keimanan yang kuat. Fitrah manusia mendorongnnya berbuat sesuatu
berdasarkan dorongan hati nurani dan dorongan manusiawi lainnya. Karenanya, tindakan manusia yang tidak
memiliki motivasi yang benar pada akhirnya hanya akan melahirkan dampak buruk. Berpijak dari hal ini, sudah seharusnyalah
iman menjadi landasan seluruh tingkah laku seorang muslim.
2.2.1
Makna
Iman dan Syari’ah
Arti iman dalam tinjauan bahasa
adalah percaya, setia, melindungi, dan menempatkan sesuatu di tempat yang aman
(baca: pada tempatnya). Terkait dengan
akidah yang dimaksud adalah iman yang bermakna pembenaran terhadap suatu hal, pembenaran
yang hakikatnya tidak dapat dipaksakan (intimidasi) oleh siapapun, karena iman
terletak dalam hati yang hanya bisa dikenali dan dipahami secara pribadi. Seseorang tidak dapat mengetahui hakikat
keimanan orang lain, apalagi memaksakannya. Dalam syara’, iman diartikan sebagai
pembenaran terhadap ajaran Nabi Muhammad Saw, yakni beriman kepada Allah Swt,
para Malaikat, para Nabi, para Rasul, hari kiamat, qadhâ’ dan qadar.
Sedangkan syariah secara
etimologi berarti aturan atau ketetapan yang Allah perintahkan kepada
hamba-hamba-Nya, seperti: puasa, shalat, haji, zakat dan seluruh kebajikan. Kata syariat berasal dari kata syar’a
al-syai’u yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatu. Atau berasal dari kata syir’ah dan syariah
yang berarti suatu tempat yang dijadikan sarana untuk mengambil air secara
langsung sehingga orang yang mengambilnya tidak memerlukan bantuan alat lain.
Syariat dalam istilah syar’i hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada
hamba-hamba-Nya, baik hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Saw dari
perkataan, perbuatan dan penetapan. Syariat
dalam penjelasan Qardhawi adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkan berdasarkan
dalil-dalil Al-Qur’an dan sunnah serta dalil-dalil yang berkaitan dengan
keduanya seperti ijma’ dan qiyas. Syariat Islam dalam istilah adalah
apa-apa yang disyariatkan Allah kepada hamba-hamba-Nya dari keyakinan (aqidah),
ibadah, akhlak, muamalah, sistem kehidupan dengan dimensi yang berbeda-beda
untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat.
2.2.2
Pentingnya
menempatkan iman dan syari’ah dalam konsumsi
Apa
hubungan iman dan syari’ah dalam konsumsi ? boleh jadi ini kunci ekonomi dalam
Islam. Bahkan tingkat perbedaan konsep
ekonomi Islam dengan konsep-konsep lain ditentukan seberapa besar tingkat
keimanan kolektif pelaku yang mengakomodasi aplikasi ekonomi Islam.
Keimanan pada dasarnya mencerminkan
kepatuhan manusia pada nilai-nilai dan ketentuan Islam (syari’ah). Keimanan akan membentuk corak inisiatif,
motif, preferensi dan mekanisme pelaksanaan prinsip-prinsip berekonomi secara
Islam. Keimananlah yang menentukan seperti apa seseorang memperlakukan
pendapatannya. Keimanan juga yang
membentuk preferensi konsumsi, produksi, investasi atau prilaku sosial.
Dengan begitu, keimanan juga akan membentuk
besaran-besaran konsumsi yang ada dalam perekonomian. Korelasi positif yang terjadi antara besaran
konsumsi tersebut dengan keimanan kemudian menjadi besaran yang dapat dijadikan
ukuran atau standard pencapaian ekonomi, sehingga ekonomi sebagai alat
pencapaian kesejahteraan bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat, selaras
dengan aktifitas-aktifitas ibadah lain yang telah lazim dikenal dalam agama
(Islam) atau dengan makna lain, bahwa ekonomi pada level itu tidak lagi bisa
dibedakan dengan agama, karena memang ekonomi adalah salah satu piranti praktis
dari agama. Wallahu a'lam bishawab.
2.3 Konsumsi
golongan mustahik dan muzaki
2.3.1
Arti
Penting Zakat, Infaq, dan Shodaqoh
Sesungguhnya apabila ditarik benang
merah dari seluruh persoalan ekonomi ummat Islam adalah bagaimana agar kekayaan
bumi ini dapat dikelola dan terdistribusi dengan adil, pada seluruh ummat,
sehingga tidak ada persaingan yang tidak sehat serta egoisme yang berlebihan
yang akan semakin memperlebar jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin.
Atau dengan kata lain yang harus dilakukan adalah upaya pendistribusian
kekayaan dengan menumbuhkan rasa kesetiakawanan sosial.
Zakat, infaq, dan shodaqoh sebagai
landasan ekonomi Islam, soko guru muamalat, serta tiang ekonomi ummat mempunyai
kedudukan yang istimewa di dalam Islam, karena bukan semata-mata ibadah (ibadah
mahdhah seperti sholat dan puasa) melainkan ia sebagai ibadah yang berkaiatan
erat dengan ekonomi, keuangan, dan kemasyarakatan. Disamping itu menurut
Mubiyarto (1982), zakat, infaq, dan shodaqoh mengandung hikmah yang bersifat
rohaniah dan filosofis. Hikmah tersebut
digambarkan dalam berbagai ayat Al Qur’an serta hadits, diantaranya sebagai
berikut:
1. Menumbuhsuburkan harta dan pahala
serta mampu membersihkan diri dari sifat-sifat kikir dan loba.
2. Melindungi masyarakat dari
kemiskinan dan kemelaratan sosial.
3. Mewujudkan rasa solidaritas dan
kasih sayang diantara sesama manusia.
4. Merupakan manifestasi kegotongroyongan
dan tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa.
5. Mengurangi kefakirmiskinan yang
merupakan masalah sosial.
6. Membina dan mengembangkan stabilitas
sosial.
7. Merupakan salah satu jalan dalam
mewujudkan keadilan sosial.
Menurut Bunasor dalam Al
Muslimun (1994), fungsi zakat, infaq, dan shodaqoh dalam Islam ada tiga, yaitu:
1. Spiritual; zakat, infaq, dan shodaqoh adalah
kewajiban manusia sebagai konsekuensi ikatannya dengan Allah.
2. Ekonomi; zakat, infaq, dan shodaqoh menghajatkan adanya distribusi pendapatan.
3. Sosial; zakat, infaq, dan shodaqoh dimanfaatkan untuk menolong
(solidaritas) sesama ummat manusia.
Disinilah letak keunggulan sistem
Islam, karena dalam Islam selain mendorong ummatnya untuk mencari penghasilan
setinggi-tingginya (pertumbuhan ekonomi), Islam juga mendorong dan memberikan
sistem distribusi kekayaan yang adil sebagaimana zakat, infaq, dan shodaqoh. Dalam hal ini Islam mengobati kemiskinan
langsung ke akar permasalahannya, yaitu mengobati keserakahan manusia. Islam memandang bahwa sesungguhnya yang perlu
dientaskan terlebih dahulu adalah orang-orang kaya (muzakki), sebab dengan
zakat, infaq, dan shodaqoh yang mereka salurkan, maka mereka mengentaskan
kemiskinan yang terdapat di dalam diri mereka sendiri, seperti sifat tamak, serakah,
dan kikir. Jadi Islam membersihkan
mereka dari kemiskinan yang sifatnya ruhiyah, setelah itu dampaknya dapat
menyebar ke obyek zakat, infaq, dan shodaqoh.
2.3.2
Sebab-sebab
Kurangnya Kesadaran Ummat Islam untuk Zakat, Infaq, dan Shodaqoh, serta
Solusinya.
Tingkat kesejahteraan perekonomian
ummat Islam akan membaik berbanding lurus dengan tingkat kesadaran ummat untuk
menunaikan kewajibannya. Menurut
Sulaiman dalam Al Muslimun (1994), ada beberapa sumber dana selain
zakat, infaq, dan shodaqoh yang dapat memperbaiki kondisi ekonomi ummat Islam
yang sekarang masih lemah ini, yaitu antara lain: pajak, harta yang datang
secara tiba-tiba, seperti rampasan perang (ghanimah), barang penemuan yang
tidak dikenal siapa pemiliknya, harta pusaka yang tidak ada pewarisnya, dan
tanah mati yang bisa dihidupkan kembali.
Merupakan kewajiban ummat Islam
untuk ikut perduli dan peka terhadap kondisi ummat di sekitarnya, karena pada
dasarnya ummat Islam adalah satu tubuh, sehingga apabila ada bagian tubuh yang
merasa sakit, maka pasti seluruh bagian tubuh tersebut akan ikut merasakannya.
Dari beberapa sumber yang terkumpul,
ada beberapa sebab yang mengakibatkan kurangnya kesadaran ummat Islam untuk
berzakat, berinfaq, maupun bershodaqoh, yaitu antara lain:
1. Merosotnya aqidah dan akhlaq ummat
Islam. Ini mengakibatkan ummat Islam
enggan mengenal ajaran Islam, sehingga mereka tidak mengetahui kewajiban-
kewajibannya sebagai makhluq yang diciptakan Allah untuk menjadi kholifah di
bumi. Masing-masing lebih mementingkan
kebutuhan hidup pribadinya, tanpa mau perduli dengan nasib orang-orang di
sekitarnya, apakah mereka kekurangan, atau bahkan kelaparan. Yang penting adalah dia sendiri hidup bahagia,
tenang, tentram, dan tidak kekurangan apa-apa. Penyakit merosotnya aqidah dan akhlaq ini
melahirkan sikap egoisme yang akut. Inilah sumber utama rusaknya ukhuwah dan
kesetiakawanan sosial yang menjadi sebab semakin lebarnya kesenjangan sosial
antara si kaya dan si miskin.
Menurut Saktiawan dalam Al
Muslimun (1995), solusi yang bisa dilakukan terhadap masalah ini adalah dengan
da’wah dan tarbiyah Islamiyah, agar masing-masing individu manusia bersih
aqidah dan akhlaqnya serta kembali kepada fitrah yang diridhai Allah SWT,
terutama bagi manusia yang memperoleh kekuasaan dan kesempatan. Pembinaan ke-Islaman yang intensif untuk
memperbaiki aqidah dan akhlaq akan menciptakan suatu masyarakat yang utuh
bersatu, tolong menolong, sehingga kesenjangan sosial yang saat ini kian
menganga tidak akan tercipta lagi. Pembinaan ke-Islaman yang dilakukan secara
intensif akan mengobati penyakit manusia langsung ke akarnya.
2. Adanya anggapan bahwa zakat identik
dengan pajak, sehingga kalau sudah membayar pajak, tidak perlu lagi berzakat.
Menurut Al Jufri dalam Ishlah (1995), hal ini benar disebabkan :
a. Dasar adanya zakat merupakan
manifestasi dari ketaatan kepada perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW,
sedangkan dasar membayar pajak adalah ketaatan negara kepada ulil amri.
b. Zakat telah ditentukan kadarnya
dalam Al Qur’an dan hadits, sedangkan pajak ditentukan oleh hukum dari
masing-masing negara.
c. Zakat hanya dikeluarkan oleh kaum
muslimin, sedang pajak dikeluarkan oleh setiap warga negara tanpa memandang
agama dan keyakinannya.
d. Zakat berlaku bagi setiap muslim yang
telah mencapai nishab tanpa memandang di negara mana dia tinggal, sedangkan
pajak hanya berlaku pada batas garis teritorial suatu negara.
e. Zakat adalah suatu ibadah yang wajib
didahului oleh niat, sedangkan pajak tidak demikian.
Sesungguhnya masih banyak lagi
hal-hal yang membedakan antara zakat dengan pajak, yang pada umumnya masyarakat
belum memahami secara benar mengenai jenis, perhitungan, maupun penyaluran dari
zakat.
3. Syariat zakat termasuk kewajiban
yang belum dilaksanakan secara baik pada tingkat komunitas ummat. Dijelaskan oleh Hidayat dalam Ishlah
(1995), bahwa kelemahan dan kesalahan tersebut masih bertahan pada beberapa
sisi. Misalnya, kewajiban zakat yang seharusnya dilaksanakan dengan otoritas
sosial, topangan politis, dan yuridis, kenyataannya masih diserahkan kepada
sukarelawan ummat. Yang ada baru
perangkat untuk menampung zakat, belum untuk menarik zakat, sehingga cukup
banyak orang-orang kaya yang lebih condong memberikan sumbangan sukarela dalam
jumlah yang besar sehingga disebut dermawan, dari pada mengeluarkan harta itu
sebagai zakat. Tentu saja ada juga dari para orang kaya yang telah sadar
berzakat, tetapi sistem pengolahannya belum optimal. Oleh karena itulah banyak asset kekayaan kaum
muslimin yang berada di tangan orang-orang kaya yang berkuasa dan memiliki
kesempatan yang masih belum dibersihkan dengan zakat. Kondisi ini secara langsung mendukung
terjadinya krisis ekonomi, sosial, moral, bahkan ekologi. Sebab Rasulullah SAW sendiri telah
memperingatkan kaum muslimin, dalam sabdanya :
“Selama zakat masih bercampur
dengan kekayaan, hanya akan berakibat kerusakan di dalam kekayaan itu sendiri”
(HR. Imam Ahmad, An Nasai, dan Abu Daud).
Bahkan masalah zakat itu bukan hanya
masalah pengelolaan, tetapi lebih dari itu, persoalan zakat menyangkut masalah
aqidah dan moral, sehingga Al Qur’an menegaskan bahwa belum
tersosialisasinya zakat dengan baik merupakan salah satu fenomena kemusyikan.
4. Beberapa tahun terakhir, berkembang
di kalangan ummat adanya organisasi pengelola dana zakat (BAZIS). Akan tetapi
amat disayangkan bahwa penyampaian sumber daya ummat tersebut masih sangat
kariatif (kurang mencapai sasaran yang diinginkan). Menurut Munir dalam
Hidayatullah (1996), banyak konsepsi yang berkembang bergerak dalam kerangka
belas kasihan dan memberikan sesuatu yang bersifat sesaat, misalnya memberikan
langsung kepada kelompok miskin dalam bentuk uang atau benda-benda konsumsi. Dalam konteks ekonomi, pola seperti itu hanya
memperbesar pola konsumsi tanpa mengubah hakekat kemiskinan yang sedang
terjadi. Dua sumber daya ummat terbesar
yaitu dana dan manusia, amat sayang bila terarah dalam pekerjaan yang justru
tidak mengarah pada pokok masalah. Yang
perlu dilakukan pada dua sumber daya besar tersebut adalah penyatuan dan
kerjasama yang kompak agar masyarakat miskin tidak hanya mendapatkan dana saja
yang akan habis dalam sekejap, namun juga mendapatkan bekal bagaimana mengolah
dana tersebut sebagai modal untuk mengembangkannya menjadi sesuatu yang bisa
bertahan dalam waktu yang lama.
5. Penyimpangan dalam kepengurusan dan
pengelolaan zakat. Menurut Sabiq (1990),
yang dinamakan amil zakat ialah orang yang diberi tugas menggantikan imam atau
wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk dalam tugas
mereka pula memeliharanya. Bila yang dizakatkan itu binatang ternak, maka dia
bertugas menggembalakannya. Selanjutnya adalah mencatatnya bagi keperluan
kedinasannya. Jadi, hendaklah upah amil zakat itu sebanding dengan kebutuhan
pokoknya. Nabi SAW bersabda yang artinya:
Siapa yang diberi tugas oleh kami
untuk mengurus suatu pekerjaan dan dia tidak punya tempat tinggal, maka dia
mendapatkan rumah, apabila dia belum beristri, maka hendaklah dia beristri,
apabila belum punya pelayan rumah, maka hendaklah dia mempunyai pelayan rumah,
apabila belum punya kendaraan, maka hendaklah dia punya kendaraan dinas (hewan
tunggangan). Siapa yang mendapat lebih dari itu, maka dia berbuat pengkhianatan
(curang) (Riwayat Ahmad, Abu Daud, dan
sanadnya sholih).
Semua itu hanyalah untuk
memperlancar jalannya tugas amil, dan bukan memewahkannya, agar amil sebagai
petugas negara mampu bertugas seoptimal mungkin, tidak tersita pikirannya untuk
memikirkan keperluan hidup yang harus dia sediakan bagi keluarganya.
Pada saat ini, banyak sekali
penyimpangan dari profesi sebagai amil zakat, antara lain:
a) Amil bukanlah orang yang ditunjuk
oleh hakim atau imam, melainkan bersifat sukarela, sehingga rasa tanggung jawab
terhadap tugasnya tidak sama dengan amil yang benar-benar ditunjuk oleh imam
sebagaimana di zaman Rasulullah dan para sahabat.
b) Amil tidak mendapat gaji tetap dari
pemerintah untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, adapun imbalannya hanya
berupa haknya untuk mendapat bagian dari zakat yang terkumpul.
c) Selain bertugas untuk mengurusi
zakat, amil juga memiliki profesi yang lain, dan biasanya justru profesi
sebagai amil merupakan profesi sampingan. Ini adalah akibat dari poin (b)
diatas.
d) Amil hanya bertugas menampung zakat,
bukan menarik zakat dari para muzakki, sehingga orang-orang kaya yang enggan
mengeluarkan zakatnya merasa terbebas dari kewajibannya, apalagi apabila amil
memiliki rasa sungkan untuk menarik zakat dari orang-orang kaya
yang berpengaruh di masyarakat, maka semakin lebarlah kesenjangan sosial dalam
masyarakat.
e) Adanya beberapa kasus mengenai
merosotnya moral dan tanggung jawab amil, sehingga muncul peristiwa korupsi
zakat, yang mengakibatkan sasaran zakat tidak tercapai. Apabila hal ini
diketahui oleh masyarakat, maka para muzakki akan enggan mengeluarkan zakatnya
karena tidak ada lagi rasa percaya pada pengurus dan pengelola zakat.
Sebagai solusi perlu kiranya para
pemuka agama yang dipercaya masyarakat menunjuk seorang amil yang beraqidah dan
berakhlaq baik untuk mengurusi zakat, kemudian perlu juga menyediakan gaji
tetap bagi amil tersebut sebagaimana gaji seseorang yang mempunyai mata
pencaharian, sehingga amil tidak lagi mencari profesi lain untuk memenuhi
kekurangan kebutuhan hidupnya, selain itu agar amil benar-benar konsekuen dan
profesional terhadap pekerjaan dan tanggung jawabnya. Dengan demikian
pengelolaan zakat akan benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Islam
dan masyarakat tidak akan berfikir dua kali untuk mengeluarkan zakatnya
diakibatkan rasa tidak percaya pada pengurus dan pengelolaan zakat.
6. Belum adanya lembaga yang memenuhi
kriteria pengelolaan dan pendistribusian zakat, infaq, dan shodaqoh. Kewajiban ummat Islam, seperti disebut di
beberapa ayat Q.S Al Baqarah, adalah membelanjakan sebagian harta dalam bentuk
zakat, infaq, dan shodaqoh. Dalam bahasa
Al Qur’an, strategi yang ditempuh adalah ingin mencapai golongan mustahiq yang
minoritas jumlahnya menjadi golongan muzakki (kelompok menengah) yang banyak
jumlahnya. Persoalannya adalah bagaimana mekanisme yang tepat.
Menurut Bunasor dalam Al
Muslimun (1994), saat ini diperlukan badan amil zakat, infaq, dan shodaqoh yang
mampu memanage zakat, infaq, dan shodaqoh dengan baik dan efisien. Secara
terinci badan amil yang ideal harus memperhatikan SISTEM, PERSONAL, dan DUKUNGAN.
Sistem yang dimaksud disini adalah
bahwa badan amil harus memiliki dua fungsi: pertama,
mengumpulkan, dan kedua, mendistribusikan. Dari segi pengumpulan,
perlu dibuat semacam PETA dasar dari kelompok mampu (muzakki),
yang meliputi siapa (orang, kelompok), dimana (tempat tinggal),
dan berapa (kekayaan yang dimiliki).
Ringkasnya, diketahui dengan jelas sisi penerimaan zakat, infaq, dan
shodaqoh tersebut.
Dari segi distribusi, perlu dibuat
semacam PETA DISTRIBUSI si mustahiqnya, menyangkut siapa,
dimana, dan berapa. Juga mengenai teknis distribusinya, misal dengan
langsung pada konsumen, terutama untuk zakat fitrah atau melalui proses
terlebih dahulu (dana diubah dalam bentuk lain).
Sadar bahwa apa yang harus dicapai
badan amil sangat jauh dari idealismenya, maka badan amil harus berusaha mendapat
dukungan dari pemerintah, dan harus mempunyai obsesi, agar suatu saat nanti,
dapat dikukuhkan dengan undang-undang sebagai hukum positif yang memaksa. Dengan kata lain, untuk konteks Indonesia,
badan amil bisa efektif apabila telah diberi kedudukan hukum sejajar dengan
lembaga pajak. Hal ini dapat diwujudkan
misalnya melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar mendesak tuntutan legislasi
lembaga pengelola zakat, infaq, dan shodaqoh kepada pemerintah.
2.3.3 Pendistribusian zakat, infaq, dan
shodaqoh
Dalam lingkaran perekonomian
(economic circle) seperti yang terjadi sekarang ini, kaum muslim nyaris hanya
menjadi konsumen belaka, baik di tingkat lokal mupun internasional. Ishlah (1994) menyebutkan bahwa secara
kuantitatif dapat dikatakan bahwa 40% dari hasil kekayaan negeri ini (APBN
1994/1995 saja bernilai ± Rp. 54 Trilyun) hanya dinikmati oleh 20% saja dari
seluruh penduduk, dan sebagian besar dari mereka adalah non muslim. Dengan kata
lain, merekalah yang menikmati nilai tambah terbesar, dengan mengeduk setiap
rupiah yang ada di kantong-kantong ummat Islam.
Apabila dihubungkan dengan
pertanyaan, kemana arah dana zakat, infaq, dan shodaqoh yang merupakan
dasar/landasan ekonomi Islam? Maka salah
satu jawabannya adalah karena pendistribusian zakat, infaq, dan shodaqoh selama
ini bersifat tidak mendidik ummat. Dikatakan
tidak mendidik ummat karena dana zakat, infaq, dan shodaqoh yang diberikan pada
kaum dhuafa berwujud uang atau benda-benda konsumsi yang akan habis dalam
sesaat.
Dalam rangka mengentaskan kemiskinan
dan mengangkat taraf hidup kaum dhuafa, maka sistem pendistribusian zakat,
infaq, dan shodaqoh harus diubah, yaitu dengan cara memberikan kail pada
mereka, bukan ikan, dengan harapan bahwa melalui kail tersebut mereka akan
mampu mencari ikan sendiri. Bentuk-bentuk kail ini bias bermacam-macam,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh LAGZIS (suatu lembaga yang
menangani dana zakat, infaq, dan shodaqoh). Dana zakat, infaq, dan shodaqoh
yang telah dikelola dengan baik, diberikan dalam beberapa bentuk, antara lain:
1. Skill (ketrampilan)
Dalam hal ini LAGZIS merekrut
orang-orang yang memiliki ketrampilan agar mengajarkan ketrampilan yang mereka
miliki pada kaum dhuafa. Adapun ketrampilan-ketrampilan yang diberikan adalah
yang bersifat wirausaha, yaitu: menjahit, membuat kue, membatik, menyulam,
kerajinan tangan (membuat keramik, hiasan-hiasan dinding, taplak meja, sulak,
keset, kaligrafi, buket-buket bunga), pertukangan, mengelas, menyablon,
menjilid, foto copy, membuat bakso, dan sebagainya.
2. Alat-alat Wiraswasta
Misalnya mesin jahit, perangkat
pertukangan, bengkel, las, sablon, mesin penjilidan dan foto copy, gerobak
bakso, perangkat pembuat kue, alat-alat untuk membatik, dan sebagainya.
3. Modal
LAGZIS menyediakan modal pada kaum
dhuafa yang berminat untuk berwirausaha. Dalam hal ini LAGZIS bekerja sama
dengan BMI (Baitul Mal wat Tamwil), yaitu bank yang berdiri di atas landasan
syariah, dimana dalam setiap operasinya tidak mengandung riba. Berbeda dengan
bank-bank komersial yang cenderung mencari keuntungan, LAGZIS, BMI, maupun BMT
merupakan produk baru ummat Islam yang didirikan ummat Islam, beroperasi dengan
syariah Islam, dan bertujuan untuk mengangkat taraf hidup ummat Islam.
Dengan demikian kaum dhuafa tidak
hanya bisa menerima dana zakat, infaq, dan shodaqoh saja, namun lebih dari itu,
mereka mampu mengembangkannya menjadi wirausaha yang mandiri sebagai sumber
mata pencaharian.
Selanjutnya dengan perencanaan yang
matang, strategi dan penanganan yang profesional, serta pengembangan yang
aktif, maka Insya Allah bentuk-bentuk wirausaha tersebut dapat membidik pasar
eksternal (tidak hanya internal di kalangan kaum muslimin), hingga pada
akhirnya wirausahawan muslim akan mampu menguasai rantai produksi ekonomi
sepanjang mungkin. Ini tidak hanya menjamin stabilitas usaha, tapi juga membuat
posisi tawar (bargaining position) yang lebih kuat terhadap para pesaing pasar
bebas yang saat ini didominasi oleh orang-orang non muslim.
2.3.4
Eksistensi
Zakat, Infaq, dan Shodaqoh dalam Alam Kapitalistis.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi
ekonomi ummat Islam saat ini sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi Barat
(kapitalis) yang memegang azas liberal (kebebasan). Semua bidang-bidang ekonomi
berada di bawah pengaruhnya, dengan prinsipnya yang terkenal, yaitu siapa yang
kuat, dialah yang menang.
Berapapun dana zakat, infaq, dan
shodaqoh yang terakumulasi dan tersalurkan kepada rakyat kecil sarta kaum dhuafa,
muaranya akan tetap sama, yaitu disedot oleh praktek monopoli, selama
pemerintah tidak membenahi sistem ekonomi. Dijelaskan oleh Sudewo dalam Ishlah
(1995), bahwa berapapun banyaknya dana yang terkumpul dari para Muzakki,
berapapun tingginya tingkat profesionalitas dan kejujuran para amilin di dalam
pengelolaan zakat tersebut, dan berapapun lancarnya penyaluran dana tersebut
kepada kaum dhuafa, selama sistem yang berlaku belum Islami maka tetap tidak
akan dapat memperbaiki kondisi kaum dhuafa. Kaum dhuafa akan tetap hidup dalam alam yang
penuh marginalitas. Mereka akan tetap berada di dalam lilitan kemelaratan yang
tiada habis-habisnya, akan tetap tinggal di dalam kubangan air mata kesedihan,
sebab semua modal yang didapat dari dana zakat, infaq, dan shodaqoh, tetap saja
tersedot masuk ke dalam pusaran sistem pasar yang menganut prinsip Survival
The Fittest, siapa yang kuat maka dialah yang meraih kemenangan.
Konsekuensinya, siapa yang bermodal setengah-setengah atau pas-pasan, dapat
dipastikan mereka akan gulung tikar.
Ditambahkan oleh Cecep dalam
Ishlah (1995), bahwa sesungguhnya pengelolaan zakat di dalam suatu negara harus
didukung oleh empat hal, yaitu:
1) Power (kekuatan), yaitu dukungan
tokoh politik.
2) Public Relation (hubungan
masyarakat), yaitu dukungan dari tokoh masyarakat.
3) Politics (lembaga-lembaga politis)
seperti DPR atau parlemen.
4) Promotion (pemberitahuan kepada
khalayak) seperti lewat media massa, dan lain-lain.
Bila keempat hal ini telah dipenuhi,
maka Insya Allah pengelolaan zakat dapat mencapai hasil yang diinginkan
bersama.
Salah satu kendala dari
ketidakberdayaan zakat, infaq, dan shodaqoh adalah apabila harus dihadapkan
pada tembok tebal sistem kapitalisme yang saat ini semakin gencar. Padahal
zakat merupakan instrumen utama ummat di dalam meningkatkan taraf hidupnya.
Jika sholat merupakan tiang agama, boleh dibilang zakat merupakan tiang ekonomi
ummat. Meninggalkan sholat artinya meruntuhkan agama, lalai zakat berarti telah
meruntuhkan ekonomi ummat. Jadi, ingkarnya muzakki, andilnya telah turut dalam
proses pemiskinan ummatnya sendiri.
Sebagai tambahan, Sudewo dalam
Ishlah (1995) menunjukkan bukti betapa proses pembangunan nasional yang kini
telah masuk PJP II ini, sesungguhnya bukanlah mengentaskan kemiskinan, tetapi
menetaskan kemiskinan, dan pembangunan real estate serta jalan layang itu lebih
memiskinkan ummat dari pada membuat mereka makmur. Dengan kondisi yang terus
menerus seperti ini, atau mungkin lebih parah lagi, eksistensi zakat di dalam
mengentaskan kemiskinan hanyalah harapan yang semu semata. Pengentasan
kemiskinan di dalam Islam harus didukung sepenuhnya oleh dua instrumen, yaitu: pertama,
pengarahan dan bimbingan agama. Kedua, kepastian hukum negara. Disini
diperlukan seperangkat hukum dan lembaga yang memiliki landasan yang kuat untuk
memaksa ummat muslim yang mampu untuk membayarkan zakatnya.
Untuk poin pertama, mungkin perlu
kerja keras. Sistem telah membuat hati sebagian besar ummat membatu, bahkan
tidak peka lagi terhadap kemiskinan sesamanya. Poin yang kedua masih bisa
diupayakan, namun memerlukan persiapan yang benar-benar matang dan lama. Ini
mau tidak mau, akan mempengaruhi sistem yang kini sedang jaya-jayanya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan makalah diatas
3.2 Saran
DAFTAR
PUSTAKA
Eko,
Dwi Waluyo. (2007). “Ekonomika Makro”. UMM-Press : Malang.
Rosyidi,
Suherman. (2006). “Pengantar Teori Ekonomi : Pendekatan Kepada Teori Ekonomi
Mikro dan Makro”. P.T. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
AKIDAH KAUM SARUNGAN,
PP. LIRBOYO
Mubiyarto, Pedoman Zakat, Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, 1982,
Jakarta.